Australia adalah salah satu negeri yang paling berhasil merajut sekian banyak budaya menjadi sebuah masyarakat multibudaya, dibangun di atas landasan demokrasi parlementer, aturan hukum dan perekonomian pasar. Di dalamnya berinteraksi lebih dari 140 suku bangsa dam mencakup seluruh bahasa, budaya, adat istiadat, dan agama terpenting di dunia. Dewasa ini kaum muslimin berperan kian penting di dalam masayarakat Australia yang modern dan beraneka ragam ini. Dalam sensus paling akhir yang dilakukan tahun 1996 terungkap adanya pertumbuhan sangat pesat dalam populasi muslim di Australia. Sensus itu menyebut jumlah 200.885 muslim Australia, suatu kenaikan 161 persen dalam jangka 15 tahun, sementara penduduk Australia hanya tumbuh dengan 21,7 persen dalam jangka waktu yang sama. Jumlah ini pun barangkali teramat konservatif, sebab perkiraan mutakhir menyebut tentang jumlah lebih dari 300 ribu muslim. Dalam tabel 1 terlihat jumlah muslim di seluruh negara bagian Australia. Tabel 2 memperlihatkan lebih dari sepertiga muslim Australia adalah kelahiran negeri itu.
Tabel 1
--------------------------------
New South Wales 102.288
Victoris 67.047
Australia Barat 12.583
Queensland 9.421
Australia Selatan 4.798
Daerah Ibukota Australia 2.466
Tasmania 807
Northern Territory 768
Wilayah-wilayah lain 707
--------------------------------
Jumlah 200.885
(Sumber: Asutralia Now mengutip Sensus 1996)
Tabel 2
---------------------------------
Australia 72.180
Libanon 27.113
Turki 22.113
Asia Selatan 15.199
Indonesia 6.949
--------------------------------
(Sumber: Australia Now mengutip Sensus 1996)
Masyarakat muslim adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh masyarakat yang mendiami Australia --pesan yang ditegaskan oleh PM Johan Howard. Dalam sambutannya di sebuah radio etnik bulan November 2001 di Sydney, Howard mengatakan, ''Pertama dan terutama sekali bagi kita warga Australia, dan saya ingin menekankan khususnya betapa penting bagi orang-orang Australia yang beragama Islam dan warga Australia keturunan Arab untuk mendengar dari saya, perdana menteri mereka, bahwa kalian adalah sama-sama warga Australia seperti saya... Kami jangkau seluruh warga Australia tanpa memandang agama, ras atau negara kelahiran mereka.''
Muslim Australia generasi kedua dan ketiga ini kini mermainkan peran penting di dalam membawa muslim pendatang baru yang berasal dari aneka ragam budaya, sekte, kebangsaan, dan bahasa ke dalam lingkungan keluarga Islam di Australia. Masyarakat muslim Australia berasal dari 60 lebih negara, mempunyai serangkaian organisasi baik tingkat nasional maupun regional. Mereka juga memiliki sekolah dan masjid sendiri. Sumbangan telah banyak mereka berikan dalam pelbagai bidang, sosial, ekonomi, budaya, keagamaan, dan pendidikan.
Basis organisasional masyarakat ini mencakup lebih dari 100 kelompok yang mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat muslim di tingkat lokal maupun regional. Juga dewan-dewan Keislaman yang mewakili masyarakat muslim lebih luas telah berdiri di seluruh negara bagian dan wilayah. Puncaknya adalah Dewan Federasi Islam Australia.
Ada 10 sekolah dasar Islam di Australia dan 11 sekolah gabungan SD-SMP. Di tingkat lebih tinggi, Perhimpunan Mahasiswa Islam telah aktif di universitas dan kolese untuk memberikan penerangan kepada mahasiswa-mahasiswa Islam yang baru datang dari pelbagai negara. Dewasa ini telah ada sekitar 100 masjid di Australia, terutama di New South Wales dan Victoria. Masjid pertama di Australia dibangun di Marree, di bagian utara Asutralia Selatan di tahun 1861. Masjid agung pertama dibangun di Adelaide dibangun tahun 1890 di Adelaide. Lainnya dibangun di Broken Hill (New South Wales) tahun 1891.
Di masa modern basis muslim Australia yang utama adalah masa seusai Perang Dunia II. Antara 1947 dan 1971 populasi muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.311, tatkala orang-orang Turki Siprus berdatangan ke Australia mencari hidup baru. Para migran Libanon berdatangan akibat perang saudara yang pecah di tahun 1975.
***
Perkembangan Islam di Australia mencakup empat masa. Yang pertama, perkenalan dengan para pencari teripang dari Makassar. Nelayan-pelaut Bugis ini biasa sekali melanglang hingga perairan yang kini menjadi bagian Australia sejak orang-orang kulit putih belum menjejakkan kaki mereka di benua itu. Tetapi, mereka memang tidak menetap dan datang manakala musim teripang tiba. Dengan kendali orang Eropa semakin dominan di Australia, orang-orang Bugis ini makin lama makin sedikit yang datang untuk kemudian tinggal kenangan belaka. Ini terjadi tahun 1907. Yang kemudian berlangsung adalah penangkapan nelayan-nelayan Indonesia yang menangkap ikan di perairan Australia.
Periode kedua adalah masa datangnya orang Islam yang bekerja sebagai pelaut di samping yang berstatus narapidana. Pelaut-pelaut muslim banyak yang bekerja di kapal-kapal Inggris. Di tahun 1796 misalnya, serombongan muslim tiba di Pulau Norfolk, di kawasan Australia Selatan. Tetapi, orang-orang Islam yang berstatus buangan ada juga yang akhirnya didamparkan di benua itu. Misalnya John Hasan, Sua (Saib) Sultan. Tetapi kemudian tak ada kabar lagi tentang keduanya. Pesakitan bernama Zimran Wriam dari India dikirim tahun 1791. Ada lagi narapidana bernama Nowardin yang dikabarkan berasal dari Muscat, Oman. Lainnya, John Johannes dari Benggala, lalu ada serombongan napi lagi datang, lima dari Oman, seorang dari Irak, seorang dari Mauritius dan seoranglagi dari Afrika Selatan. Dari Capetown, Afrika Selatan, juga dikirim dua 'penganut keyakinan Melayu' yakni Ajoup dan Matthys. Seperti Muslim lainnya, mereka juga muncul sebentar di dalam arsip tetapi kemudian raib tanpa jejak.
Periode ketiga adalah masa datangnya orang-orang India dan Afghanistan sebagai penunggang unta untuk menjelajahi wilayah dalam Australia (Lihat Boks). Ini disusul dengan masa menyusutnya jumlah orang Islam akibat diterapkannya UU Pembatasan Imigrasi di tahun 1901. Baru pada bagian kedua abad ke-20-lah, yang merupakan periode keempat, arus muslim kembali dan meningkatlah jumlah orang Islam dengan pesat hingga sekarang. Tak pelak ini memang berkait dengan peristiwa-peristiwa besar di bagian-bagian lain dunia. Misalnya, perang saudara di Libanon mengakibatkan banjir orang dari kawasan itu ke Australia. Begitu juga dengan perkembangan terakhir di Afghanistan --yang nota bene menimbulkan masalah menyangkut Indonesia sebagai tempat 'transit'.
Kaiser Trad adalah salah satu korban perang saudara di Libanon. Ia terpaksa meninggalkan kampung halaman di umur 13 tahun pada tahun 1975. Ia hijrah ke Australia dan sekarang ia menjadi pengurus masjid Lakemba di pinggiran Sidney. Dialah yang menerjemahkan ke Bahasa Inggris, khotbah yang diberikan dalam Bahasa Arab.
Dalam percakapan seusai shalat Jumat, Kaiser memaparkan betapa bahaya terbesar yang dihadapi kaum muslim ''barangkali adalah salah paham tentang Islam sendiri''. Terutama setelah peristiwa 11 September 2001, perlakuan serba tak layak banyak mereka jumpai dari orang-orang yang membenci Islam. Kaisar memperlihatkan surat-surat teror yang diterima oleh Islamic Center di Lakemba. Surat-surat itu berisi ancaman, caci- maki dengan kalimat-kalimat yang sangat kasar, cabul, dan semacamnya. Juga kiriman bubuk antraks palsu (dengan surat berbunyi, ''yang begini saja sudah terlampau bagus buat kalian''). Atau selonsong peluru yang ditemukan di suatu tempat di kawasan itu. Penganiayaan fisik tak luput juga dialami. Hingga sekarang, teror terkadang masih dialami, hingga kaum muslimin masih harus sangat berhati-hati berperilaku dan bepergian.
Maka, yang dilakukan oleh para tokoh Islam ialah bersilaturahim kepada baik lingkungan Islam sendiri yang berbeda paham, juga kepada penganut-penganut agama lain. Misalnya, ia bersama beberapa tokoh Islam mendatangi gereja-gereja dan berbicara kepada para jemmat tentang Islam dan tindakan Muslim yang sebenar-benarnya, tidak seperti yang dilakukan para pengebom menara kembar World Trade Center di New York 11 September lampau --di mana tak kurang-kurang orang Islam yang tewas (sebagai catatan, di salah satu lantai WTC juga terdapat mushalla).
Ternyata langkah mereka disambut baik para penganut Kristiani, dan hubungan mereka pun berlangsung baik, walau masih ada juga orang-orang tak dikenal yang berbuat tak senonoh terhadap orang-orang Islam, dengan akibat munculnya trauma bagi mereka untuk mengenakan busana muslim (terutama muslimah). Masjid yang dibakar pun ada --hingga sekarang masjid besar Lakemba juga belum mengumandangkan adzan sebagai tanda telah masuk waktu shalat. Di Bradford, Inggris, misalnya, adzan sudah dapat dikumandangkan, walau hanya sampai pukul delapan malam (waktu maghrib di musim panas misalnya baru masuk pukul 9:30 malam). Tetapi mereka kini sedang membangun sebuah gelanggang remaja yang besar, disediakan untuk siapa saja, bukan cuma kaum muslimin.
Dalam upaya muslim Sidney menjalin harmoni, mereka berhasil. Di Al Faisal College, sebuah SD-SMP Islam di Kotapraja Auburn (walikotanya orang Mesir Koptik) Sidney yang berdampingan dengan sebuah gereja (United Church), murid-muridnya --yang perempuan seluruhnya berjilbab-- itu sangat terbiasa bermain di halaman gereja tersebut --dan diizinkan oleh pengurus gereja. Ke masjid Lakemba pun, misalnya, telah dilakukan kunjungan pimpinan nasional gereja-gereja Australia. Sebenarnya banyak orang Australia yang memeluk Islam selama ini (lihat tabel) tetapi kata Kaiser, seusai serangan ke WTC jumlah muallaf menyusut, tak sebanyak sebelumnya. Minat untuk mempelajari Islam meningkat tetapi tidak demikian dengan keinginan untuk memeluk Islam, yang justru menyusut.
Mereka memang menghadapi masalah 'identitas' sebagai muslim --bagaimana tetap menjadi muslim yang baik, mengenakan jilbab, misalnya -- di tengah tarikan-tarikan sekularisme yang seolah tak mengizinkan sesuatu yang 'lain' tanpa dipandang sebagai 'pengganggu'. Maksud penerapan politik imigrasi tahun 1947 adalah untuk menciptakan sebuah 'masyarakat Australia putih'. Tetapi dalam pelaksanaan politik imigrasi maupun pengalaman pemukiman para migran memunculkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda dan ini menjadi pendorong bagi yang lain untuk datang ke Australia. Pada 1975, tulis Michael Humphrey ('An Australian Islam? Religion in the Multicultural City' dalam Muslim Communities in Australia) kenyataan sosial yang timbul akibat keanekaragaman asal-muasal para pendatang dan proses permukiman mereka membawa kearah munculnya 'multibudayaisme' menggantikan politik 'Australia Putih' sebagai politik resmi nasional.
Di Kotapraja Auburn, misalnya, disediakan sekian banyak fasilitas untuk bermacam suku bangsa yang hidup di wilayah itu. Penerjemah disediakan untuk bahasa utama di masyarakat. Dokumentasi dan perpustakaan disediakan. Adapula proyek keselarasan masyarakat yang dimaksudkan untuk membangun toleransi antarras. Lalu, pusat-pusat kesejahteraan seperti Pusat kesejahteraan Asia, Pusat Budaya Islam, Pusat Sumberdaya Migran, Pusat Kesejahteraan Arab-Australia, dan Pusat Bisnis dan Kesejahteraan.
Timbal balik dari program pemerintah yang positif bagi umat Islam, Kaiser menuturkan, Pusat Islamnya telah berupaya menggiring anak-anak muda dari kemungkinan terlibat dalam tindakan antisosial. Katanya, telah ratusan anak muda yang berhasil dibimbingnya menuju masjid. Masjid Lakemba sendiri, tempatnya berkiprah, penuh sesak kala shalat Jumat berlangsung. Dengan demikian, di samping kehidupan mereka sebagai muslim di lingkungan puak sendiri, mereka juga harus 'berunding' tentang pelbagai masalah yang bertalian dengan 'kemusliman' mereka di lingkungan masyarakat Australia yang lebih luas. Islam sendiri sudah menjadi agama masyarakat Australia, walau penganutnya masih harus terus-menerus menempuh jalur yang berliku dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain maupun pemerintah Australia sendiri. Ketegangan yang muncul antara kecenderungan ke arah homogenisme dan pluralisme telah memberi sifat publik kepada Islam. Dinamika demikian tak pelak memang merupakan alur yang tampaknya harus ditempuh, dan justru akan memberi bahan-bahan ke arah pendewasaan semua pihak. Termasuk, menghilangkan salah paham tentang Islam sendiri. n mustoffa kamil ridwan
Islam di Australia. Ada foto Eric Sultan, keturunan Afghan-Aborigin
Para Penunggang Unta Itu...
Mereka merupakan wakil dari periode ketiga sejarah masuk dan keberadaan orang Islam di Australia. Dan mereka berperan besar dalam pengembangan kawasan pedalaman benua itu. Sebab, tanpa jasa mereka, pemasangan fasilitas telegrap akan tersendat-sendat, dan kota-kota tambang di daerah pedalaman takkan dapat bertahan hidup. Eksplorasi awal bagian tenggara Australia membuka lahan bagi para pemukim dan domba-domba mereka. Unta-unta ternyata lebih disarankan untuk pembukaan daerah pedalaman yang kering dibanding kuda. Namun, saran yang diajukan tahun 1837 itu baru diwujudkan beberapa tahun kemudian. Melalui anjuran Gawler, gubernur Australia Selatan, Komisaris Kolonial di London membeli enam ekor unta di Tenerife, Kepulauan Canary, tetapi hanya seekor yang hidup setiba di Adelaide bulan Oktober 1840. Demikian yang dilaporkan Bilal Cleland (History of Muslims in Australia dalam Muslim Communities in Australia karya Abdullah Saeed dan Shahram Akbarzadeh).
Di tahun 1850-an, dilancarkan penjelajahan dari Melbourne yang kaya emas dan memang akan memegang peran terkemuka di masa depan Australia. Atas perintah Komisi Eksplorasi Victoria pada tahun 1858 dilakukanlah pembelian unta dan mencari penunggangnya sekaligus. Dibelilah 24 ekor dan tiga penunggangnya dipekerjakan, seorang Hindu, Samla, dan dua muslim, Esa Khan dan Dost Muhammad. Mereka tiba di tahun 1860. Ekspedisi dimulai dengan gegap-gempita. Tetapi kemudian Dost Muhammad mengalami kecelakaan: tangannya putus digigit unta dan terpaksalah ia pensiun dini. Tak lama kemudian ia meninggal dunia dan dikubur di Minindie.
Peran para penunggang unta muslim ini tak terpisahkan, namun ya begitulah, tak ada pengakuan yang mereka terima. Orang Eropa-lah yang mendapat penghargaan dan pembukaan daerah pedalaman Australia tercatat di sejarah atas nama mereka. Baru Kamran-lah, di tahun 1873, yang turut serta dalam ekspedisi Gosse tercatat sebagai orang bukan asli pertama yang melihat Uluru, karang besar, yang diabadikan dengan nama gubernur Australia Selatan kala itu, Sir Henry Ayers. Lalu, muslim lain bernama Saleh, yang boleh dikata memimpin ekspedisi Giles di tahun 1875-76 melintasi Lembah Nullabor ke Perth lalu kembali, melalui Geraldton, ke Australia Selatan, mendapat kehormatan: namanya diabadikan untuk 'Tebat Ikan Saleh' dekat Gunung Gould.
Penjelajahan-penjelajahan itu dilakukan juga untuk kepentingan ekonomi. Dengan unta-unta dari Marree dan Farina, Moosa Balooch dan Guzzie Balooch menyertai Ekspedisi Horn di tahun 1894, untuk mencari mineral antara rangkaian pegunungan MacDonnell dan Oodnadatta serta mengkaji materi biologis, botanis, dan etnologis. Dua penunggang unta tersohor, Bejah Darwis dan Said Ameer, menyertai Ekspdisi Culvert di tahun 1896. Dua penjelajah Eropa tersesat dan meningal dunia akibat kelaparan. Kesediaan orang-orang Afghan untuk melakukan pencarian selama berhari-hari dalam kondisi alam yang ganas serta tawaran Faiz Muhammad, pemilik unta, untuk mengirim unta-unta dan orang-orangnya guna membantu pencarian, mengesankan banyak orang. Larry Wells, pemimpin ekspedisi, menamami sebuah pertanda di gurun pasir 'Bukit Bejah' dan memberikan kompasnya kepada Bejah Muhammad. Bertahun-tahun kemudian, Nora Bejah, menantu Bejah Muhammad, masih menyimpan kompas itu. Ia ingat, Bejah telah diberi julukan 'Yang Setia' (The Faithful).
Abdul (Jack) Darwis, anak Bejah, berperan penting sekali di dalam Ekspedisi Madigan melintasi Gurun Simpson di tahun 1939. Orang Afghan lain, Nur Muhammad Musa (Nurie) juga ikut dalam ekspedisi ini. Ia adalah putra Musa Balooch yang menyertai Ekspedisi Horn 40 tahun sebelumnya. Ekspedisi Madigan adalah ekspedisi terakhir untuk menjelajah pedalaman. Sejak tahun 1860 para penunggang unta Afghan telah menyertai setiap ekspedisi. Peran mereka berakhir dengan munculnya kendaraan bermotor. Unta-untanya sendiri kemudian banyak yang dilepas ke alam liar atau dibantai.
Bagaimana dengan kehidupan kekeluargaan mereka? Awalnya, mereka hidup membujang, meninggalkan istri mereka di India atau Afghanistan dan mereka --walau jarang-jarang-- beberapa kali pulang untuk menengok keluarga di tanah kelahiran. Tetapi, banyak juga yang kemudian menikah (lagi) dengan perempuan Aborigin. Nameth Khan, misalnya, sudah berkeluarga di Peshawar. Tetapi ia menikah lagi dengan perempuan Aborigin di kantor Catatan Sipil di Alice Springs. Istri Aborigin ini kemudian meninggal di tahun 1919 akibat Flu Spanyol. Nameth sendiri juga meninggal tak lama kemudian, tak pernah sempat lagi menengok keluarganuya di Peshawar (sekarang Pakistan). Namun, anak Australianya tetap menjalin hubungan dengan keluarga ayahnya itu bahkan pernah mengunjunginya di Punjab pada tahun-tahun 1960-an.
Banyak perempuan yang dikawini laki-laki Afghan adalah orang-orang Aborigin tersisihkan, yang sistem kekerabatannya berantakan akibat permukiman kaum kulit putih. Jalinan perkawinan itu kini menurunkan banyak warga campuran Afghan-Aborigin dan ini, menurut Eric Sultan, salah seorang tokoh Muslim dari Alice Springs, ''membuahkan kebanggaan bagi sejarah Aborigin.'' Sekarang keturunan mereka hidup di pelbagai tempat wisata yang masih memanfaatkan unta-unta, perkebunan-perkebunan kurma; banyak pohon kurma yang tumbuh di kawasan pedalaman tempat perkemahan-perkenmahan kakek-kakek mereka dulu, sebagian sudah tak terpakai lagi sebagian masih dimanfaatkan hingga sekarang seperti di bagian tertentu Alice Springs.
Hidup mereka sudah tentu mengalami pasang surut yang tajam. Penganiayaan bahkan pembunuhan tak pelak terjadi, dilakukan oleh penganut rasialisme. Peraturan-peraturan pemerintah pun --seperti UU Keimigrasian tahun 1901, UU Jalan Raya 1902 dan UU Natutalisasi, dan yang paling gawat Politik Putih Australia-- tak kurang-kurang membatasi baik masuk maupun kehidupan para penunggang unta ini, maupun umat Islam secara keseluruhan. Baru, dengan pencabutan Politik Putih itu di bulan Desember 1972 maka umat Islam bias bernapas lega dan jumlah mereka pun meningkat pesat.
Tabel 1
--------------------------------
New South Wales 102.288
Victoris 67.047
Australia Barat 12.583
Queensland 9.421
Australia Selatan 4.798
Daerah Ibukota Australia 2.466
Tasmania 807
Northern Territory 768
Wilayah-wilayah lain 707
--------------------------------
Jumlah 200.885
(Sumber: Asutralia Now mengutip Sensus 1996)
Tabel 2
---------------------------------
Australia 72.180
Libanon 27.113
Turki 22.113
Asia Selatan 15.199
Indonesia 6.949
--------------------------------
(Sumber: Australia Now mengutip Sensus 1996)
Masyarakat muslim adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh masyarakat yang mendiami Australia --pesan yang ditegaskan oleh PM Johan Howard. Dalam sambutannya di sebuah radio etnik bulan November 2001 di Sydney, Howard mengatakan, ''Pertama dan terutama sekali bagi kita warga Australia, dan saya ingin menekankan khususnya betapa penting bagi orang-orang Australia yang beragama Islam dan warga Australia keturunan Arab untuk mendengar dari saya, perdana menteri mereka, bahwa kalian adalah sama-sama warga Australia seperti saya... Kami jangkau seluruh warga Australia tanpa memandang agama, ras atau negara kelahiran mereka.''
Muslim Australia generasi kedua dan ketiga ini kini mermainkan peran penting di dalam membawa muslim pendatang baru yang berasal dari aneka ragam budaya, sekte, kebangsaan, dan bahasa ke dalam lingkungan keluarga Islam di Australia. Masyarakat muslim Australia berasal dari 60 lebih negara, mempunyai serangkaian organisasi baik tingkat nasional maupun regional. Mereka juga memiliki sekolah dan masjid sendiri. Sumbangan telah banyak mereka berikan dalam pelbagai bidang, sosial, ekonomi, budaya, keagamaan, dan pendidikan.
Basis organisasional masyarakat ini mencakup lebih dari 100 kelompok yang mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat muslim di tingkat lokal maupun regional. Juga dewan-dewan Keislaman yang mewakili masyarakat muslim lebih luas telah berdiri di seluruh negara bagian dan wilayah. Puncaknya adalah Dewan Federasi Islam Australia.
Ada 10 sekolah dasar Islam di Australia dan 11 sekolah gabungan SD-SMP. Di tingkat lebih tinggi, Perhimpunan Mahasiswa Islam telah aktif di universitas dan kolese untuk memberikan penerangan kepada mahasiswa-mahasiswa Islam yang baru datang dari pelbagai negara. Dewasa ini telah ada sekitar 100 masjid di Australia, terutama di New South Wales dan Victoria. Masjid pertama di Australia dibangun di Marree, di bagian utara Asutralia Selatan di tahun 1861. Masjid agung pertama dibangun di Adelaide dibangun tahun 1890 di Adelaide. Lainnya dibangun di Broken Hill (New South Wales) tahun 1891.
Di masa modern basis muslim Australia yang utama adalah masa seusai Perang Dunia II. Antara 1947 dan 1971 populasi muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.311, tatkala orang-orang Turki Siprus berdatangan ke Australia mencari hidup baru. Para migran Libanon berdatangan akibat perang saudara yang pecah di tahun 1975.
***
Perkembangan Islam di Australia mencakup empat masa. Yang pertama, perkenalan dengan para pencari teripang dari Makassar. Nelayan-pelaut Bugis ini biasa sekali melanglang hingga perairan yang kini menjadi bagian Australia sejak orang-orang kulit putih belum menjejakkan kaki mereka di benua itu. Tetapi, mereka memang tidak menetap dan datang manakala musim teripang tiba. Dengan kendali orang Eropa semakin dominan di Australia, orang-orang Bugis ini makin lama makin sedikit yang datang untuk kemudian tinggal kenangan belaka. Ini terjadi tahun 1907. Yang kemudian berlangsung adalah penangkapan nelayan-nelayan Indonesia yang menangkap ikan di perairan Australia.
Periode kedua adalah masa datangnya orang Islam yang bekerja sebagai pelaut di samping yang berstatus narapidana. Pelaut-pelaut muslim banyak yang bekerja di kapal-kapal Inggris. Di tahun 1796 misalnya, serombongan muslim tiba di Pulau Norfolk, di kawasan Australia Selatan. Tetapi, orang-orang Islam yang berstatus buangan ada juga yang akhirnya didamparkan di benua itu. Misalnya John Hasan, Sua (Saib) Sultan. Tetapi kemudian tak ada kabar lagi tentang keduanya. Pesakitan bernama Zimran Wriam dari India dikirim tahun 1791. Ada lagi narapidana bernama Nowardin yang dikabarkan berasal dari Muscat, Oman. Lainnya, John Johannes dari Benggala, lalu ada serombongan napi lagi datang, lima dari Oman, seorang dari Irak, seorang dari Mauritius dan seoranglagi dari Afrika Selatan. Dari Capetown, Afrika Selatan, juga dikirim dua 'penganut keyakinan Melayu' yakni Ajoup dan Matthys. Seperti Muslim lainnya, mereka juga muncul sebentar di dalam arsip tetapi kemudian raib tanpa jejak.
Periode ketiga adalah masa datangnya orang-orang India dan Afghanistan sebagai penunggang unta untuk menjelajahi wilayah dalam Australia (Lihat Boks). Ini disusul dengan masa menyusutnya jumlah orang Islam akibat diterapkannya UU Pembatasan Imigrasi di tahun 1901. Baru pada bagian kedua abad ke-20-lah, yang merupakan periode keempat, arus muslim kembali dan meningkatlah jumlah orang Islam dengan pesat hingga sekarang. Tak pelak ini memang berkait dengan peristiwa-peristiwa besar di bagian-bagian lain dunia. Misalnya, perang saudara di Libanon mengakibatkan banjir orang dari kawasan itu ke Australia. Begitu juga dengan perkembangan terakhir di Afghanistan --yang nota bene menimbulkan masalah menyangkut Indonesia sebagai tempat 'transit'.
Kaiser Trad adalah salah satu korban perang saudara di Libanon. Ia terpaksa meninggalkan kampung halaman di umur 13 tahun pada tahun 1975. Ia hijrah ke Australia dan sekarang ia menjadi pengurus masjid Lakemba di pinggiran Sidney. Dialah yang menerjemahkan ke Bahasa Inggris, khotbah yang diberikan dalam Bahasa Arab.
Dalam percakapan seusai shalat Jumat, Kaiser memaparkan betapa bahaya terbesar yang dihadapi kaum muslim ''barangkali adalah salah paham tentang Islam sendiri''. Terutama setelah peristiwa 11 September 2001, perlakuan serba tak layak banyak mereka jumpai dari orang-orang yang membenci Islam. Kaisar memperlihatkan surat-surat teror yang diterima oleh Islamic Center di Lakemba. Surat-surat itu berisi ancaman, caci- maki dengan kalimat-kalimat yang sangat kasar, cabul, dan semacamnya. Juga kiriman bubuk antraks palsu (dengan surat berbunyi, ''yang begini saja sudah terlampau bagus buat kalian''). Atau selonsong peluru yang ditemukan di suatu tempat di kawasan itu. Penganiayaan fisik tak luput juga dialami. Hingga sekarang, teror terkadang masih dialami, hingga kaum muslimin masih harus sangat berhati-hati berperilaku dan bepergian.
Maka, yang dilakukan oleh para tokoh Islam ialah bersilaturahim kepada baik lingkungan Islam sendiri yang berbeda paham, juga kepada penganut-penganut agama lain. Misalnya, ia bersama beberapa tokoh Islam mendatangi gereja-gereja dan berbicara kepada para jemmat tentang Islam dan tindakan Muslim yang sebenar-benarnya, tidak seperti yang dilakukan para pengebom menara kembar World Trade Center di New York 11 September lampau --di mana tak kurang-kurang orang Islam yang tewas (sebagai catatan, di salah satu lantai WTC juga terdapat mushalla).
Ternyata langkah mereka disambut baik para penganut Kristiani, dan hubungan mereka pun berlangsung baik, walau masih ada juga orang-orang tak dikenal yang berbuat tak senonoh terhadap orang-orang Islam, dengan akibat munculnya trauma bagi mereka untuk mengenakan busana muslim (terutama muslimah). Masjid yang dibakar pun ada --hingga sekarang masjid besar Lakemba juga belum mengumandangkan adzan sebagai tanda telah masuk waktu shalat. Di Bradford, Inggris, misalnya, adzan sudah dapat dikumandangkan, walau hanya sampai pukul delapan malam (waktu maghrib di musim panas misalnya baru masuk pukul 9:30 malam). Tetapi mereka kini sedang membangun sebuah gelanggang remaja yang besar, disediakan untuk siapa saja, bukan cuma kaum muslimin.
Dalam upaya muslim Sidney menjalin harmoni, mereka berhasil. Di Al Faisal College, sebuah SD-SMP Islam di Kotapraja Auburn (walikotanya orang Mesir Koptik) Sidney yang berdampingan dengan sebuah gereja (United Church), murid-muridnya --yang perempuan seluruhnya berjilbab-- itu sangat terbiasa bermain di halaman gereja tersebut --dan diizinkan oleh pengurus gereja. Ke masjid Lakemba pun, misalnya, telah dilakukan kunjungan pimpinan nasional gereja-gereja Australia. Sebenarnya banyak orang Australia yang memeluk Islam selama ini (lihat tabel) tetapi kata Kaiser, seusai serangan ke WTC jumlah muallaf menyusut, tak sebanyak sebelumnya. Minat untuk mempelajari Islam meningkat tetapi tidak demikian dengan keinginan untuk memeluk Islam, yang justru menyusut.
Mereka memang menghadapi masalah 'identitas' sebagai muslim --bagaimana tetap menjadi muslim yang baik, mengenakan jilbab, misalnya -- di tengah tarikan-tarikan sekularisme yang seolah tak mengizinkan sesuatu yang 'lain' tanpa dipandang sebagai 'pengganggu'. Maksud penerapan politik imigrasi tahun 1947 adalah untuk menciptakan sebuah 'masyarakat Australia putih'. Tetapi dalam pelaksanaan politik imigrasi maupun pengalaman pemukiman para migran memunculkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda dan ini menjadi pendorong bagi yang lain untuk datang ke Australia. Pada 1975, tulis Michael Humphrey ('An Australian Islam? Religion in the Multicultural City' dalam Muslim Communities in Australia) kenyataan sosial yang timbul akibat keanekaragaman asal-muasal para pendatang dan proses permukiman mereka membawa kearah munculnya 'multibudayaisme' menggantikan politik 'Australia Putih' sebagai politik resmi nasional.
Di Kotapraja Auburn, misalnya, disediakan sekian banyak fasilitas untuk bermacam suku bangsa yang hidup di wilayah itu. Penerjemah disediakan untuk bahasa utama di masyarakat. Dokumentasi dan perpustakaan disediakan. Adapula proyek keselarasan masyarakat yang dimaksudkan untuk membangun toleransi antarras. Lalu, pusat-pusat kesejahteraan seperti Pusat kesejahteraan Asia, Pusat Budaya Islam, Pusat Sumberdaya Migran, Pusat Kesejahteraan Arab-Australia, dan Pusat Bisnis dan Kesejahteraan.
Timbal balik dari program pemerintah yang positif bagi umat Islam, Kaiser menuturkan, Pusat Islamnya telah berupaya menggiring anak-anak muda dari kemungkinan terlibat dalam tindakan antisosial. Katanya, telah ratusan anak muda yang berhasil dibimbingnya menuju masjid. Masjid Lakemba sendiri, tempatnya berkiprah, penuh sesak kala shalat Jumat berlangsung. Dengan demikian, di samping kehidupan mereka sebagai muslim di lingkungan puak sendiri, mereka juga harus 'berunding' tentang pelbagai masalah yang bertalian dengan 'kemusliman' mereka di lingkungan masyarakat Australia yang lebih luas. Islam sendiri sudah menjadi agama masyarakat Australia, walau penganutnya masih harus terus-menerus menempuh jalur yang berliku dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain maupun pemerintah Australia sendiri. Ketegangan yang muncul antara kecenderungan ke arah homogenisme dan pluralisme telah memberi sifat publik kepada Islam. Dinamika demikian tak pelak memang merupakan alur yang tampaknya harus ditempuh, dan justru akan memberi bahan-bahan ke arah pendewasaan semua pihak. Termasuk, menghilangkan salah paham tentang Islam sendiri. n mustoffa kamil ridwan
Islam di Australia. Ada foto Eric Sultan, keturunan Afghan-Aborigin
Para Penunggang Unta Itu...
Mereka merupakan wakil dari periode ketiga sejarah masuk dan keberadaan orang Islam di Australia. Dan mereka berperan besar dalam pengembangan kawasan pedalaman benua itu. Sebab, tanpa jasa mereka, pemasangan fasilitas telegrap akan tersendat-sendat, dan kota-kota tambang di daerah pedalaman takkan dapat bertahan hidup. Eksplorasi awal bagian tenggara Australia membuka lahan bagi para pemukim dan domba-domba mereka. Unta-unta ternyata lebih disarankan untuk pembukaan daerah pedalaman yang kering dibanding kuda. Namun, saran yang diajukan tahun 1837 itu baru diwujudkan beberapa tahun kemudian. Melalui anjuran Gawler, gubernur Australia Selatan, Komisaris Kolonial di London membeli enam ekor unta di Tenerife, Kepulauan Canary, tetapi hanya seekor yang hidup setiba di Adelaide bulan Oktober 1840. Demikian yang dilaporkan Bilal Cleland (History of Muslims in Australia dalam Muslim Communities in Australia karya Abdullah Saeed dan Shahram Akbarzadeh).
Di tahun 1850-an, dilancarkan penjelajahan dari Melbourne yang kaya emas dan memang akan memegang peran terkemuka di masa depan Australia. Atas perintah Komisi Eksplorasi Victoria pada tahun 1858 dilakukanlah pembelian unta dan mencari penunggangnya sekaligus. Dibelilah 24 ekor dan tiga penunggangnya dipekerjakan, seorang Hindu, Samla, dan dua muslim, Esa Khan dan Dost Muhammad. Mereka tiba di tahun 1860. Ekspedisi dimulai dengan gegap-gempita. Tetapi kemudian Dost Muhammad mengalami kecelakaan: tangannya putus digigit unta dan terpaksalah ia pensiun dini. Tak lama kemudian ia meninggal dunia dan dikubur di Minindie.
Peran para penunggang unta muslim ini tak terpisahkan, namun ya begitulah, tak ada pengakuan yang mereka terima. Orang Eropa-lah yang mendapat penghargaan dan pembukaan daerah pedalaman Australia tercatat di sejarah atas nama mereka. Baru Kamran-lah, di tahun 1873, yang turut serta dalam ekspedisi Gosse tercatat sebagai orang bukan asli pertama yang melihat Uluru, karang besar, yang diabadikan dengan nama gubernur Australia Selatan kala itu, Sir Henry Ayers. Lalu, muslim lain bernama Saleh, yang boleh dikata memimpin ekspedisi Giles di tahun 1875-76 melintasi Lembah Nullabor ke Perth lalu kembali, melalui Geraldton, ke Australia Selatan, mendapat kehormatan: namanya diabadikan untuk 'Tebat Ikan Saleh' dekat Gunung Gould.
Penjelajahan-penjelajahan itu dilakukan juga untuk kepentingan ekonomi. Dengan unta-unta dari Marree dan Farina, Moosa Balooch dan Guzzie Balooch menyertai Ekspedisi Horn di tahun 1894, untuk mencari mineral antara rangkaian pegunungan MacDonnell dan Oodnadatta serta mengkaji materi biologis, botanis, dan etnologis. Dua penunggang unta tersohor, Bejah Darwis dan Said Ameer, menyertai Ekspdisi Culvert di tahun 1896. Dua penjelajah Eropa tersesat dan meningal dunia akibat kelaparan. Kesediaan orang-orang Afghan untuk melakukan pencarian selama berhari-hari dalam kondisi alam yang ganas serta tawaran Faiz Muhammad, pemilik unta, untuk mengirim unta-unta dan orang-orangnya guna membantu pencarian, mengesankan banyak orang. Larry Wells, pemimpin ekspedisi, menamami sebuah pertanda di gurun pasir 'Bukit Bejah' dan memberikan kompasnya kepada Bejah Muhammad. Bertahun-tahun kemudian, Nora Bejah, menantu Bejah Muhammad, masih menyimpan kompas itu. Ia ingat, Bejah telah diberi julukan 'Yang Setia' (The Faithful).
Abdul (Jack) Darwis, anak Bejah, berperan penting sekali di dalam Ekspedisi Madigan melintasi Gurun Simpson di tahun 1939. Orang Afghan lain, Nur Muhammad Musa (Nurie) juga ikut dalam ekspedisi ini. Ia adalah putra Musa Balooch yang menyertai Ekspedisi Horn 40 tahun sebelumnya. Ekspedisi Madigan adalah ekspedisi terakhir untuk menjelajah pedalaman. Sejak tahun 1860 para penunggang unta Afghan telah menyertai setiap ekspedisi. Peran mereka berakhir dengan munculnya kendaraan bermotor. Unta-untanya sendiri kemudian banyak yang dilepas ke alam liar atau dibantai.
Bagaimana dengan kehidupan kekeluargaan mereka? Awalnya, mereka hidup membujang, meninggalkan istri mereka di India atau Afghanistan dan mereka --walau jarang-jarang-- beberapa kali pulang untuk menengok keluarga di tanah kelahiran. Tetapi, banyak juga yang kemudian menikah (lagi) dengan perempuan Aborigin. Nameth Khan, misalnya, sudah berkeluarga di Peshawar. Tetapi ia menikah lagi dengan perempuan Aborigin di kantor Catatan Sipil di Alice Springs. Istri Aborigin ini kemudian meninggal di tahun 1919 akibat Flu Spanyol. Nameth sendiri juga meninggal tak lama kemudian, tak pernah sempat lagi menengok keluarganuya di Peshawar (sekarang Pakistan). Namun, anak Australianya tetap menjalin hubungan dengan keluarga ayahnya itu bahkan pernah mengunjunginya di Punjab pada tahun-tahun 1960-an.
Banyak perempuan yang dikawini laki-laki Afghan adalah orang-orang Aborigin tersisihkan, yang sistem kekerabatannya berantakan akibat permukiman kaum kulit putih. Jalinan perkawinan itu kini menurunkan banyak warga campuran Afghan-Aborigin dan ini, menurut Eric Sultan, salah seorang tokoh Muslim dari Alice Springs, ''membuahkan kebanggaan bagi sejarah Aborigin.'' Sekarang keturunan mereka hidup di pelbagai tempat wisata yang masih memanfaatkan unta-unta, perkebunan-perkebunan kurma; banyak pohon kurma yang tumbuh di kawasan pedalaman tempat perkemahan-perkenmahan kakek-kakek mereka dulu, sebagian sudah tak terpakai lagi sebagian masih dimanfaatkan hingga sekarang seperti di bagian tertentu Alice Springs.
Hidup mereka sudah tentu mengalami pasang surut yang tajam. Penganiayaan bahkan pembunuhan tak pelak terjadi, dilakukan oleh penganut rasialisme. Peraturan-peraturan pemerintah pun --seperti UU Keimigrasian tahun 1901, UU Jalan Raya 1902 dan UU Natutalisasi, dan yang paling gawat Politik Putih Australia-- tak kurang-kurang membatasi baik masuk maupun kehidupan para penunggang unta ini, maupun umat Islam secara keseluruhan. Baru, dengan pencabutan Politik Putih itu di bulan Desember 1972 maka umat Islam bias bernapas lega dan jumlah mereka pun meningkat pesat.
![Validate my Atom 1.0 feed [Valid Atom 1.0]](valid-atom.png)
thamk's sahabat
ReplyDelete